SIMBOL-SIMBOL NEGARA

1. Bendera
S
Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini ditujukan untuk
bendera Merah Putih yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945
di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi dilaksanakan. Tetapi
selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang Saka Merah Putih ditujukan kepada
setiap bendera Merah Putih yang dikibarkan dalam setiap upacara bendera.
Bendera pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, pada
tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang (ada juga yang menyebutkan bahan
bendera tersebut adalah kain wool dari London yang diperoleh dari seorang
Jepang. Bahan ini memang pada saat itu digunakan khusus untuk membuat
bendera-bendera negara di dunia karena terkenal dengan keawetannya)
berukuran 276 x 200 cm. Sejak tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera
tersebut hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI. Sejak
tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi dan sampai saat ini disimpan
di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna
putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x
47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda
berwarna kecokelatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatanlipatan
itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar.
Setelah tahun 1969, yang dikerek dan dikibarkan pada hari ulang tahun
kemerdekaan RI adalah bendera duplikatnya yang terbuat dari sutra. Bendera
pusaka turut pula dihadirkan namun ia hanya ‘menyaksikan’ dari dalam kotak
penyimpanannya.
ang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan terhadap bendera
Arti Warna
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti
suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan
jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk
Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan
putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula
jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini
adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika
Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan
adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah
dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan
bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi
pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak
bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika
sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di
gua garba.
Peraturan Tentang Bendera Merah Putih
1. UUD ‘45 pasal 35: Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
2. Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera saan Republik Indonesia.
Sumber: Disarkan dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Bendera_Indonesia
2. Lambang Garuda Pancasila
G
ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian
disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Garuda merupakan burung
dalam mitologi Hindu, sedangkan Pancasila merupakan dasar filosofi negara
Indonesia.
Lambang negara Garuda diatur penggunaannya dalam Peraturan
Pemerintah No. 43/1958
aruda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia. Lambang
Makna Lambang Garuda Pancasila
Garuda Pancasila
1. Burung Garuda melambangkan kekuatan
2. Warna emas pada burung Garuda melambangkan kejayaan
3. Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
4. Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila
dalam Pancasila, yaitu:
a. Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa [sila ke-1]
b. Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab [sila ke-2]
c. Pohon Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia [sila ke-3]
d. Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan [sila ke-4]
e. Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia [sila ke-5]
5. Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia.
Merah berarti berani dan putih berarti suci
6. Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah
Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
7. Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17
Agustus 1945), antara lain:
a. Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
b. Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
c. Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
d. Jumlah bulu di leher berjumlah 45
8. Pita yang dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara
Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda
beda, tetapi tetap satu”.
Lagu “Garuda Pancasila”
Ciptaan: Sudharnoto
Garuda pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Sila dalam Pancasila
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sumber: Disarkan dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Pancasila
3. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
L
di Bandung, pada waktu ia berusia 21 tahun. Pertama kali dimainkan pada
Kongres Pemuda (Sumpah Pemuda) tanggal 28 Oktober 1928. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lagu ini
dijadikan lagu kebangsaan.
agu Indonesia Raya diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman tahun 1924
Sejarah
Ketika mempublikasikan Indonesia Raya tahun 1928, Wage Rudolf Soepratman
dengan jelas menuliskan “lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya.
Teks lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali oleh surat kabar Sin Po.
Setelah dikumandangkan tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres
Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang
penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya.
Selanjutnya lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat
partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan sebagai
lagu Kebangsaan perlambang persatuan bangsa.
Rekaman asli (1950) dan rekam ulang (1997)
Rekaman asli dari Jos Cleber tahun 1950 dari Orkes Cosmopolitan Jakarta,
telah dimainkan dan direkam kembali secara digital di Australia tahun 1997
berdasarkan partitur Jos Cleber yang tersimpan di RRI Jakarta, oleh Victoria
Philharmonic di bawah pengarahan Addie MS.
Lirik asli (1928)
INDONESIA RAJA
I
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kiteanja,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoea,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
“Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja,
S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
Lirik resmi (1958)
INDONESIA RAJA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Djadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rajatku, sem’wanja,
Bangunlah djiwanja,
Bangunlah badannja,
Untuk Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang mulia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanja,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnja,
Suburlah djiwanja,
Bangsanja, Rajatnja, sem’wanja,
Sadarlah hatinja,
Sadarlah budinja,
Untuk Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang sutji,
Tanah kita jang sakti,
Disanalah aku berdiri,
Ndjaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang aku sajangi,
Marilah kita berdjandji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakjatnja,
S’lamatlah putranja,
Pulaunja, lautnja, sem’wanja,
Madjulah Neg’rinja,
Madjulah pandunja,
Untuk Indonesia Raja.
Refrain
Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku jang kutjinta!
Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raja.
Lirik modern
INDONESIA RAYA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Sumber: Disarikan dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya
10
4. Bahasa Indonesia
B
bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan
penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya
sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi.
Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian
bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19,
namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja
dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa
asing.
Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia,
bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas
penduduknya. Sebagian besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai
bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi seharihari
(kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya
atau bahasa ibunya. Namun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas
di perguruan-perguruan, di surat kabar, media elektronika, perangkat lunak,
surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah
dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
ahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang
tercantum dalam:
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa
Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Sumber: Disarikan dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
11
5. Istana
1. Istana Negara dan Istana Merdeka
I
Merdeka, Jakarta, merupakan dua buah bangunan utama yang luasnya 6,8
hektar (1 hektar = 1 hektometer persegi = 10000 meter persegi) dan terletak
di antara Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran, serta dikelilingi
oleh sejumlah bangunan yang sering digunakan sebagai tempat kegiatan
kenegaraan.
Dua bangunan utama adalah Istana Merdeka yang menghadap ke Taman
Monumen Nasional (Monas)(Jalan Medan Merdeka Utara) dan Istana Negara
yang menghadap ke Sungai Ciliwung (Jalan Veteran). Sejajar dengan Istana
Negara ada pula Bina Graha. Sedangkan di sayap barat antara Istana Negara
dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara.
Pada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu
bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai
1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula
merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van
Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni
memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan
kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai
pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila
berurusan di Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan
memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang
mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan
Hindia, setiap Rabu.
Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels
di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu
hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
stana Negara dan Istana Merdeka yang berada di satu kompleks di Jalan
12
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting
terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya
disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana)
ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel
ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan
Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia diwakili oleh
Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook.
Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 berarsitektur gaya Yunani Kuno
ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan
lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk
bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa
ada perubahan yang berarti.
Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini Istana Negara
menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, antara
lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan
rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, dan jamuan
kenegaraan.
Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana baru pada kaveling
yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir. Istana yang
diarsiteki Drossares pada awal masa pemerintahan RI sempat menjadi saksi
sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI
diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda
diwakili A.H.J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan
Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah
lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air
mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih
menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar
teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana
Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28
Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan
untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan
pada 1950.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan
Republik Indonesia, sudah lebih dari 20 kepala pemerintahan dan kepala negara
yang menggunakan Istana Merdeka sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan
pemerintahan negara.
Sebagai pusat pemerintahan negara, kini Istana Merdeka digunakan
untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detikdetik
Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat
kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan
Polri).
Bangunan seluas 2.400 m2 itu terbagi dalam beberapa ruang. Yakni
serambi depan, ruang kredensial, ruang tamu/ruang jamuan, ruang resepsi,
ruang bendera pusaka dan teks proklamasi. Kemudian ruang kerja, ruang tidur,
ruang keluarga/istirahat, dan pantry (dapur).
13
Sepeninggal Presiden Soekarno, tidak ada lagi presiden yang tinggal
di sini, kecuali Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih
tinggal di Jalan Cendana. Tapi Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan
men-set up sebuah ruang kerja bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara,
sehingga disebut sebagai Ruang Jepara serta lebih banyak berkantor di Bina
Graha. (
Sumber disarikan dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Negara)
2. Istana Bogor
I
Presiden Republik Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri. Keunikan
ini dikarenakan aspek historis, kebudayaan dan fauna yang menonjol. Salah
satunya adalah adanya rusa – rusanya yang indah yang didatangkan langsung
dari Nepal dan tetap terjaga dari dulu sampai sekarang.
Saat ini sudah menjadi kebiasaan warga Bogor dan sekitarnya setiap hari
Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya berjalan- jalan di seputaran Istana Bogor
sambil memberi makan rusa- rusa indah yang hidup di halaman Istana Bogor
dengan wortel yang diperoleh dari petani- petani tradisional warga Bogor yang
selalu siap sedia menjajakan wortel- wortel tersebut setiap hari libur. Seperti
namanya, istana ini terletak di Bogor, Jawa Barat.
Walaupun berbagai kegiatan kenegaraan sudah tidak dilakukan lagi,
khalayak umum diperbolehkan mengunjungi secara rombongan, dengan
sebelumnya meminta izin ke Sekretaris Negara, c.q. Kepala Rumah Tangga
Kepresidenan.
stana Bogor (Bogor), Istana Bogor merupakan salah satu dari enam Istana
Sejarah
Istana Bogor dahulu bernama
kekhawatiran”.
Sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman
resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal
Inggris.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff
terkesima akan kedamaian sebuah kampung kecil di Bogor (Kampung Baru),
sebuah wilayah bekas Kerajaan Pajajaran yang terletak di hulu Batavia. Van
Imhoff mempunyai rencana membangun wilayah tersebut sebagai daerah
pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.
Istana Bogor dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat
tiga, pada awalnya merupakan sebuah rumah peristirahatan, ia sendiri yang
membuat sketsa dan membangunnya dari tahun 1745-1750, mencontoh
arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat kota Oxford di
Inggris. Berangsur angsur, seiring dengan waktu perubahan-perubahan kepada
bangunan awal dilakukan selama masa Gubernur Jenderal Belanda maupun
Inggris (Herman Willem Daendels dan Sir Stamford Raffles), bentuk bangunan
Istana Bogor telah mengalami berbagai perubahan. sehingga yang tadinya
merupakan rumah peristirahatan berubah menjadi bangunan istana paladian
dengan luas halamannya mencapai 28,4 hektar dan luas bangunan 14.892 m².
Namun, musibah datang pada tanggal 10 Oktober 1834 gempa bumi
mengguncang akibat meletusnya Gunung Salak sehingga istana tersebut rusak
berat.
Buitenzorg atau Sans Souci yang berarti “tanpa
14
Istana Bogor, Bangunan induk dan sayap kiri dan kanan
Pada tahun 1850, Istana Bogor dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat
lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist
(1851-1856) bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan
mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.
Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg dijadikan tempat kediaman resmi
dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penghuni terakhir Istana
adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer yang terpaksa
harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Imamura, pemeritah pendudukan
Jepang.
Pada tahun 1950, setelah masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor
mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia, dan resmi menjadi salah satu dari
Istana Presiden Indonesia.
Pada tahun 1968 Istana Bogor resmi dibuka untuk kunjungan umum
atas restu dari Presiden Soeharto. Arus pengunjung dari luar dan dalam negeri
setahunnya mencapai sekitar 10 ribu orang.
Pada 15 November 1994, Istana Bogor menjadi tempat pertemuan
tahunan menteri ekonomi APEC (
sana diterbitkanlah Deklarasi Bogor. Deklarasi ini merupakan komitmen 18
negara anggota APEC untuk mengadakan perdangangan bebas dan investasi
sebelum tahun 2020.
Pada 16 Agustus 2002, pada masa pemerintahan Presiden Megawati,
diadakan acara “Semarak Kemerdekaan” untuk memperingati HUT RI yang ke-
57, dan dimeriahkan dengan tampilnya Twilite Orchestra dengan konduktor
Addie MS
Pada 9 Juli 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangsungkan
pernikahan anaknya, Agus Yudhoyono dengan Anisa Pohan di Istana Bogor.
Pada 20 November 2006 Presiden Amerika Serikat George W. Bush
melangsungkan kunjungan kenegaraan ke Istana Bogor dan bertemu dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kunjungan singkat ini berlangsung selama
enam jam. (
Buitenzorg ituAsia-Pasific Economy Cooperation), dan diSumber disarikan dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Bogor)
3. Istana Cipanas (Cipanas),
Gedung Utama, Istana Cipanas
Gede, Jawa Barat. Tepatnya lebih kurang 103 km dari Jakarta ke arah
Bandung melalui Puncak. Istana ini terletak di Desa Cipanas, Kecamatan
Pacet, Kabupaten Cianjur. Luas areal kompleks istana ini lebih kurang 26 hektar,
namun sampai saat ini hanya 7.760 m2 yang digunakan untuk bangunan.
Selebihnya dipenuhi dengan tanaman dan kebun tanaman hias yang asri, kebun
sayur dan tanaman lain yang ditata seperti hutan kecil.
Sebenarnya bangunan induk istana ini pada awalnya adalah milik pribadi
seorang tuan tanah Belanda yang dibangun pada tahun 1740. Sejak masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff, bangunan
ini dijadikan sebagai tempat peristirahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Istana Cipanas yang merupakan Istana Kepresidenan, terletak di kaki Gunung
15
Beberapa bangunan yang terdapat di dalam kompleks ini antara lain
Paviliun Yudistira, Paviliun Bima dan Paviliun Arjuna yang dibangun secara
bertahap pada 1916. Penamaan ini dilakukan setelah Indonesia Merdeka, oleh
Presiden Sukarno. Di bagian belakang agak ke utara terdapat “Gedung Bentol”,
yang dibangun pada 1954 sedangkan dua bangunan terbaru yang dibangun
pada 1983 adalah Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
Sebuah peristiwa penting yang pernah terjadi di istana ini setelah
kemerdekaan adalah berlangsungnya sidang kabinet yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965, yang menetapkan perubahan nilai
uang dari Rp 1.000,- menjadi Rp 1,-.
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, gedung ini
hanya digunakan sebagai tempat persinggahan pembesar-pembesar Jepang
dalam perjalanan mereka dari Jakarta ke Bandung ataupun sebaliknya.
Gedung ini ditetapkan sebagai Istana Kepresidenan dan digunakan
sebagai tempat peristirahatan bagi Presiden atau Wakil Presiden beserta
keluarga setelah kemerdekaan, seperti halnya Camp David Amerika Serikat.
(
Sumber disarikan dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Cipanas)
4. Istana Tampaksiring (Bali)
N
(yang bermakna ‘telapak ‘) dan siring (yang bermakna ‘miring’). Menurut
sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu
berasal dari bekas telapak kaki seorang Raja yang bernama Mayadenawa. Raja
ini pandai dan sakti, tetapi bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya
dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Sebagai akibat dari tabiat
Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan balatentaranya untuk
menghacurkannya. Namun, Mayadenawa berlari masuk hutan. Agar para
pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya.
Dengan begitu ia berharap agar para pengejarnya tidak mengenali bahwa jejak
yang ditinggalkannya itu adalah jejak manusia, yaitu jejak Mayadenawa.
Usaha Mayadenawa gagal. Akhirnya ia ditangkap oleh para pengejarnya.
Namun, sebelum itu, dengan sisa-sisa kesaktiannya ia berhasil menciptakan
mata air beracun yang menyebabkan banyak kematian bagi para pengejarnya
setelah mereka meminum air dari mata air ciptannya itu. Batara Indra pun
menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun tersebut. Air
Penawar racun itu diberi nama Tirta Empul (yang bermakna ‘airsuci’). Kawasan
hutan yang dilalui Raja Mayadenawa denagn berjalan di atas kakinya yang
dimiringkan itulah wilayah ini dikenal dengan nama Tampaksiring.
Menurut riwayatnya, disalah satu sudut kawasan Istana Tampaksiring,
menghadap kolam Tirta Empul di kaki bukit, dulu pernah ada bangunan
peristirahatan milik Kerajaan Gianyar. Di atas lahan itulah sekarang berdiri
Wisma Merdeka , yaitu bagian dari Istana Tampaksiring yang pertama kali
dibangun.
Istana Kepresidenan Tampaksiring berdiri atas prakarsa Presiden I
Republik Indonesia, Soekarno, sehingga dapat dikatakan Istana Kepresidenan
Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun pada masa
pemerintahan Indonesia.
Pembangunan istana dimulai taun 1957 hingga tahun 1960. Namun,
dalam rangka menyongsong kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN
ama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu tampak
16
XIV (ASEAN Summit XIV) yang diselenggarakan pada tanggal 7-8 Oktober
2003, Istana Tampaksiring menambahkan bangunan baru berikut fasilitas -
fasilitasnya, yaitu gedung untuk Konferensi dan untuk resepsi. Selain itu, istana
juga merenovasi Balai Wantilan sebagai gedung pagelaran kesenian.
Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun secara bertahap. Arsiteknya
ialah R.M Soedarsono. Yang pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka
dan Wisma Yudhistira, yakni pada tahun 1957. Pembangunan berikutnya
dilaksanakan tahun 1958, dan semua bangunan selesai pada tahun 1963.
Selanjutnya, untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN XIV, yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 7-8 Oktober 2003, Istana
dibangun gedung baru untuk Konferensi beserta fasilitas-fasilitasnya dan
merenovasi Balai Wantilan. Kini Tampaksiring juga memberikan kenyamanan
kepada pengunjungnya (dalam rangka kepariwisataan) dengan membangun
pintu masuk tersendiri yang dilengkapi dengan Candi Bentar, Koro Agung, serta
Lapangan Parkir berikut Balai Bengongnya.
Sejak dirancangnya / direncanakan, pembangunan Istana Kepresidenan
Tampaksiring difungsikan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden Republik
Indonesia beserta keluarga dan bagi tamu-tamu negara. Usai pembangunan istana
ini, yang pertama berkunjung dan bermalam di istana adalah pemrakarsanya,
yaitu Presiden Soekarno. Tamu Negara yang bertama kali menginap di istana
ini ialah Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand, yang berkunjung ke Indonesia
bersama permaisurinya, Ratu Sirikit (pada tahun 1957).
Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana
Kepresidenan Tampaksiring, antara lain adalah Presiden Ne Win dari Birma (
sekarang Myanmar), Presiden Tito dari Yugoslavia, Presiden Ho Chi Minh dari
Vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri Khruchev dari
Uni Soviet, Ratu Juliana dari Negeri Belanda, dan Kaisar Hirihito dari Jepang.
(
Sumber disarikan dari: Istana Kepresidenan RI, 2004, Sekretariat Presiden RI).
5. Istana Gedung Agung (Yogyakarta).
I
residen Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama
Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau
pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan
Mei 1824 di masa penjajahan Belanda. Ini berawal dari keinginan adanya
“istana” yang berwibawa bagi residen-residen Belanda. Arsiteknya bernama A.
Payen; dia ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Gaya
bangunannya mengikuti arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830), yang oleh Belanda disebut
Perang Jawa, mengakibatkan pembangunan gedung jadi tertunda. Musibah
gempa bumi terjadi dua kali pada hari yang sama, menyebabkan tempat
kediaman resmi residen Belanda itu runtuh. Namun bangunan baru didirikan
dan rampung pada tahun 1869. Bangunan inilah yang menjadi Gedung Induk
Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang kini disebut Gedung Negara.
Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status
administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi
provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen, melainkan gubernur.
Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 tersebut
menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya
pendudukan Jepang. Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung
tersebut adalah J.E Jasper (1926-1927), P.R.W van Gesseler Verschuur (1929-
1932), H.M de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), serta L Adam (1940-
stana kepresidenan Yogyakarta awalnya adalah rumah kediaman resmi
17
1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi
penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti
tatkala pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg
tersebut resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda,
dan istana itu pun berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman
Presiden Soekarno, Presiden I Republik Indonesia, beserta keluarganya.
Sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di
gedung yang sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas, yang tidak jauh dari
kompleks istana.
Sejak itu, riwayat istana (terutama fungsi dan perannya) berubah.
Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni
1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik
Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Rebulik yang masih
muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana ini pula.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur
oleh tentara Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang
dikenal dengan Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden,
Perdana Menteri, beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau
Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada
tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai
tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949,
yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi
kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi
Gedung Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni
1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan
Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat
kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II
RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung
juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara
yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus
dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak
tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung
Agung digunakan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala
pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam
di Gedung Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu
adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan,
Raja Bhumibol Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari
Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian
(1961), tamu negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair.
Pada tahun tujuh puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal
dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri
Srimavo Bandaranaike dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana
Menteri Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari
18
Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di
Gedung Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin
Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari
Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan
Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke
Gedung Agung itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia
(1990), Kaisar Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).
Sumber:
- (Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI,2004)
- http://www.presidenri.go.id/istana/index.php/statik/sejarah/yogya.html

Simbol-Simbol Negara